Home » » Peluang Pekerja IT

Peluang Pekerja IT

Bisnis Indonesia Minggu Halaman Depan Edisi :

05-NOV-2000

Peluang berbuntut bencana

Dunia tengah kekurangan tenaga kerja di bidang

teknologi informasi. Pekerja muda Indonesia

memanfaatkan peluang ini. Namun pengamat mengingatkan

peluang itu bisa jadi bencana di masa mendatang karena

tenaga kerja andal kian menipis.


Dalam usianya yang

relatif muda, 26 tahun, Wahyu sudah bisa hidup

berkecukupan di negeri orang. Alumnus Jurusan Elektro

di Fakultas Teknik Universitas Indonesia itu sekarang

menjadi IT specialist di IBM Prancis.Penghasilan

bersih mencapai Rp 250 juta per tahun.

Hampir setahun Wahyu mengadu nasib di Prancis.

Sebelumnya sempat magang di perusahaan pesawat tempur

Dasault, juga menekuni bidang teknologi informasi.

Dua tahun lagi dia berencana meninggalkan Prancis dan

bermaksud pindah ke negara yang lebih dekat, misalnya

Singapura.

"Itung-itung cari pengalaman, ilmu dan uang di Paris.

Selain gaji yang lumayan, saya juga mendapatkan

fasilitas berlebih," katanya saat bertemu

Bisnis di Prancis belum lama ini. Fasilitas dimaksud

a.l. telepon genggam,

Dinners Club card, asuransi. Bahkan biaya perjalanan

liburan untuk dia dan pacarnya (setahun dua kali,

yakni saat musim dingin dan panas) ditanggung

perusahaan.

Sekarang ini memang banyak anak muda seusia Wahyu

bertebaran di luar negeri.Mereka memperoleh gaji besar

plus fasilitas menggiurkan.

Peluang untuk memperoleh gaji besar itu kian terbuka.

Panca Asma Tunggal,misalnya, memberikan kesempatan

bagi putra-putra terbaik untuk meraih gaji

US$30.000-US$100.000 per tahun dengan bekerja di

Amerika Serikat secara sah plus HIB Visa.

"Ini bukan lotere, tapi merupakan kesempatan kerja

secara sah dan legal,"

kata Dessy Yeni, seorang eksekutif Panca Asma Tunggal,

satu perusahaan pengerah tenaga kerja di Jakarta.

Calon harus berpendidikan S1 dan berpengalaman kerja

tiga tahun, serta usia maksimal 60 tahun. Tentu saja

mereka musti menjalani tes dan wawancara.Dalam

wawancara ini dinegosiasikan pula soal gaji.

Gaji minimal yang dijanjikan kepada tenaga kerja ahli

itu Rp 22,5 juta/bulan. Sedangkan jumlah maksimal bagi

mereka yang sudah berpengalaman bisa mencapai Rp 90

juta/bulan.

Menyaring calon pekerja, kata Dessy, butuh waktu empat

sampai enam bulan.Jika lulus, tahap pertama akan

dikontrak dua hingga tiga tahun. Tapi patut diingat,

si pekerja musti memberikan fee maksimal US$6.000

kepada Panca Asma Tunggal tersebut.Peluang terbuka

Di beberapa negara maju kesenjangan antara kebutuhan

dan pasokan tenaga kerja TI makin menganga. Jika

menyimak statistik dari Information Technology

Association terungkap di AS pada tahun lalu terjadi

kekurangan tenaga kerja TI 400.000 orang. Tahun ini

diperkirakan membengkak jadi 800.000 orang. Begitupun

di Eropa. Tahun depan, misalnya, setidaknya dibutuhkan

satu juta orang.Tak mengherankan sejumlah headhunter

dari beberapa negara maju masuk ke beberapa negara

berkembang untuk mencari pekerja-pekerja TI itu.

Termasuk ke Indonesia.

Seperti pengakuan Budi Rahardjo, dari PPAU bidang

Mikroelektronika ITB,beberapa perusahaan pengerah

tenaga kerja pernah mendatanginya untuk 'minta

pasokan' pekerja TI. Mereka akan dikirim ke Jerman

yang butuh 12.000 orang,Singapura 3.000 orang dan

Belanda yang juga perlu ribuan orang.

Informasi lain disampaikan Rektor Universitas Bina

Nusantara Jakarta, Widia Soerjaningsih. Berdasarkan

pengamatannya dari berita di media massa, maka

setiap hari terdapat 20 posisi untuk pekerja TI.

Sementara bila diamati dari Internet, terdapat 300

posisi per minggu. Data BiNusCareer menyebutkan

dalam tiga bulan terakhir terdapat rata-rata 200

posisi per bulan. "Ini permintaan tenaga kerja yang

luar biasa," kata Widia.Fenomena 'larinya' pekerja TI

ini, menurut managing director AsosiasiPiranti Lunak

Telematika Indonesia (Aspiluki) Gunawan Rianto, karena

kualitasnya mulai membaik sehingga memenuhi

kualifikasi internasional.Dirut PT Duta Astakona

Girinda itu menyatakan umumnya mereka berada pada

level menengah tapi memiliki kemampuan yang handal.

"Sebelum dipakai diluar negeri, mereka biasanya

mendapat upgrading selama satu-dua tahun agar

benar-benar siap pakai."Ujung-ujungnya memang gaji.

Bayangkan seorang programmer analyst, misalnya,

di luar negeri mendapat gaji US$3.000-US$5.000 per

bulan (sekitar Rp 27 juta hingga 45 juta per bulan).

Padahal di Indonesia paling banter hanya digaji Rp 15

juta.Makanya, kata Gunawan, jangan heran jika banyak

ahli TI di Indonesia yang sudah mencapai level

tinggi-katakanlah level programmer analyst-rela

menurunkan level dirinya menjadi tenaga data entry

agar bisa bekerja diluar negeri. Maklum di luar negeri

sebagian besar membutuhkan tenaga TI semacam itu.

Hal lain yang jadi alasan a.l. adanya kemudahan untuk

menjadi permanent resident di negara tujuan. Untuk

menjadi permanent resident di Singapura,

misalnya, orang harus lebih dulu menanamkan deposito

minimal US$1 juta ke rekening pemerintah setempat.

Tetapi para tenaga TI cukup bekerja satu-dua tahun,

dan kemudian sudah bisa mendapat izin tinggal tetap.

Ini dinilai jauh lebih gampang dan murah dibandingkan

harus mendepositokan uang US$1 juta. Pekerja TI banyak

yang memburu fasilitas ini di sejumlah negara maju

seperti Amerika Serikat, Australia dan Kanada.

Masalahnya, lanjut Gunawan, Indonesia selama ini

dikenal sebagai salah satu negara yang belum memiliki

standard kualifikasi yang jelas untuk tenaga-tenaga

TI-nya.Berbeda dengan India, di Indonesia untuk

menyebut seseorang sebagai programmer belum ada

standardnya. Demikian pula untuk menyebut seseorang

sebagai system analyst. Akibatnya, kalau para tenaga

TI dari Indonesia itu mau bekerja ke luar negeri,

perusahaan di luar negeri kesulitan menentukan

harganya.

Di negara-negara maju, standardisasi profesi tenaga TI

sudah jelas. Bahkan di AS, gelar tertentu hanya diakui

sejauh orang yang punya gelar itu bekerja sesuai

bidangnya. Seorang insinyur mesin yang bekerja sebagai

tenaga pemasaran, tidak boleh menyebut dirinya sebagai

insinyur mesin. Dia tetap sebagai tenaga pemasaran

tetapi berijazah insinyur mesin. Untuk mencari solusi

mengenai masalah itu, Persatuan Insinyur

Indonesia(PII) akan bekerjasama dengan Aspiluki

menyusun konsep standardisasi.Bagaimanapun tenaga TI

di Indonesia harus punya standard kualifikasi yang

sama dengan negara lain.Jadi bencana Budi Rahardjo

mengingatkan kelangkaan SDM TI di beberapa negara

merupakan peluang bagi Indonesia. Tapi di sisi lain

bisa jadi bencana. Alasannya sederhana, jika tenaga

andal berlarian ke luar negeri, siapa yang mendorong

industri TI untuk lebih maju? Hal serupa ditegaskan

Widia. Untuk jangka pendek, pasar luar negeri menyukai

SDM TI asal Indonesia karena tergolong pekerja

keras."Tapi bila dilihat dalam jangka panjang , hal

ini merupakan ancaman. Tenaga kerja berkualitas bakal

terkuras," katanya.Pada 2010 Indonesia diperkirakan

butuh 350.000 tenaga kerja TI. Jika sejak sekarang tak

dipersiapkan, hal itu dikhawatirkan menjadi bumerang

di masa datang.

Atas dasar itu Armein Z.R. Langi, Kepala PPAU

Mikroelektronika ITB,menyatakan strategi pengembangan

SDM TI perlu dilakukan melalui sertifikasi yang

dikaitkan dengan struktur industrinya.Dia melihat

strategi itu perlu diarahkan pada dua sasaran yaitu

penghasil dan pemelihara infrastruktur TI yang

efisien, serta pembangun pengetahuan,ide, informasi

inovatif yang penting bagi ekonomi digital.

"SDM yang dihasilkan perlu disalurkan bagi industri

Indonesia yang berorientasi ekspor maupun dicadangkan

ke luar negeri sebagai TKI," katanya dalam satu

seminar di Jakarta belum lama ini.Langi menekankan

pada kata 'dicadangkan' untuk pengiriman TKI bidang

TI.

Artinya, pendidikan SDM TI itu diarahkan agar pekerja

lebih memberikan perhatian kepada kemajuan industri TI

nasional sebelum memilih hengkang ke luar negeri.

Namun Gunawan tak terlalu khawatir menghadapi fenomena

ini. Alasannya jumlah tenaga teknologi informasi dari

Indonesia yang pindah ke luar negeri tidak banyak.

Yang hengkang itu adalah mereka yang punya kualifikasi

internasional. Dan yang punya kualifikasi seperti itu

jumlahnya kira-kira hanya 10% dari total tenaga TI.

"Mereka adalah para ahli technical komputer seperti

programmer, programmer analyst dan system analyst

programmer," katanya.Di Indonesia, tenaga teknologi

informasi yang ahli secara technical itu sedikit.

Sekolah dan lembaga pendidikan komputer di Indonesia

umumnya hanya mengajarkan manajemen informatika,

teknik informatika, atau komputer akuntansi.Bukan

computer science, computer science engineering,

Internet engineering, atau Internet computer software

engineering.Biarlah anak muda itu menimba pengalaman

di luar negeri, suatu saat toh akan kembali juga ke

negaranya dan ikut membangun industri TI. "Sejauh-jauh

bangau terbang, akan kembali ke sarangnya."
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Please Coment my Blog

Comment Via Facebook

Download

Download youtube Video
 
Support : Creating Website | Johny Template | Maskolis | Johny Portal | Johny Magazine | Johny News | Johny Demosite
Copyright © 2011.
.:: IT HOME SOLUTION ::.
- All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger